Oleh: Anis Malik Thoha
Dari waktu ke waktu, semakin terbukti, bahwa “sistem keyakinan”,atau
yang secara umum disebut “agama”, apa pun wujud dan bentuknya, adalah
fenomena yang senantiasa hadir di tengah manusia. Fenomena agama ini
telah banyak menyedot perhatian para pemikir dan peneliti sepanjang
zaman. Berbagai teori pun bermunculan, mencoba menjelaskan fenomena
ini, mulai dari yang religius (berbasis wahyu) sampai yang sekular
(berbasis akal murni). Essai pendek ini akan mencoba mendedahkan dan
mencermati secara spesifik salah satu di antara teori-teori keagamaan
ini, yaitu apa yang disebut dengan
perenialisme/transendentalisme/primordialisme tradisionalisme.
Paham
ini cukup berpengaruh dalam berbagai wacana pemikiran keagamaan dewasa
ini, yang menurut Anderson dan Whitehouse, pengarang buku New Thought: A Practical American Spirituality, dianggap “sebagai bagian dari fondasi psikologi transpersonal dan aliran New Age yang lain, serta banyak diadopsi oleh
New Thought” (… is part of the foundation of transpersonal psychology
and other New Age thinking, and is adopted by much of New Thought).
(http://websyte.com/alan/peren.htm). Ditinjau dari namanya, gagasan
perenialisme ini tampak sebagai gagasan tua dan senantiasa ada. Bahkan
sebagaimana yang diklaim oleh sebagian pionirnya, Aldous Huxley
misalnya, usia gagasan ini setua usia manusia di bumi ini atau malah
“telah ada sejak dahulu kala yang tak teringat lagi (immemorial),”(Aldous Huxley,The Perennial Philosophy, 1944:vii).
Oleh karena itu sengaja dipilihkan nama yang demikian memukau:
perennis bermakna timeless (tanpa waktu) dan spaceless (tanpa ruang).
Jadi, ide ini berbicara seputar masalah prinsipil yang diyakini
universal yang menjadi pokok kesadaran dan concern spiritual manusia
dalam segala ruang dan waktu. Oleh karena itu, gagasan ini pula disebut
“hikmah abadi” atau dalam bahasa Arabnya: al-hikmah al-khalidah.
Tapi,
meskipun demikian, sebagaimana yang terbukti dengan karya-karya para
tokohnya, sebenarnya gagasan ini adalah gagasan baru yang muncul di awal
abad ke-20, sebagai respons kritis terhadap suatu situasi dan kondisi
abad modern dimana paham sekularisme semakin merajalela menguasai
kehidupan manusia.
Dengan kata lain, lahir dan berkembangnya
mazhab ini dilatarbelakangi oleh keperihatinan untuk menyelamatkan dunia
ini dari ancaman krisis kehancuran manusia sebagai akibat proses
desakralisasi (sekularisasi), reduksionisasi, dan relativisasi yang
terjadi secara masif dalam seluruh aspek kehidupan manusia modern
(lihat: Rene Guenon, The Crisis of the Modern World, 1942; Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man,
1988). Sebagai suatu terapi yang diharapkan dapat diterima secara
luas, gagasan ini menawarkan solusi yang berbasis pada “tradisi
primordial” komunitas manusia, yakni “resakralisasi”, yaitu menyambung
dan menganyam kembali jalinan kehidupan manusia modern ini dengan sacra
yang selama ini telah “dicaci-maki”, dan akhirnya “ditalak-tiga” oleh
modernisasi. Dalam proses “resakralisasi” ini mau tidak mau para tokoh
perenialis harus berhadapan dengan suatu fakta obyektif dalam sejarah
manusia, bahwa di sana terdapat berbagai macam faham/keyakinan agama
yang tidak hanya berbeda-beda tapi malah saling bertentangan antara yang
satu dengan yang lain.
Untuk “menyiasati” realitas ini, mereka
berteori (atau tepatnya: mengajarkan) bahwa menurut ajaran
“tradisional”, setiap “realitas” atau “hakekat” adalah berperingkat atau
berhirarki: esoteric dan exoteric; atau substansi (substance) dan aksiden (accident); atau esensi (essence) dan bentuk (form); atau batin (inward) dan lahir (outward).
Dan agama-agama, yang menurut Seyyed Hossein Nasr – tokoh perenialis --
merupakan salah satu dari tiga wujud sosok utama penjelmaan Zat yang
Absolute (grand theophanies of the Principle), juga mesti tunduk pada hirarki ini (lihat: Nasr, Knowledge and the Sacred, 1981: 282).
Berdasarkan
“epistemologi tradisional” ini, realitas keberagaman atau
kewarna-warnian agama hanyalah terjadi pada level exoteris yang
sejatinya merupakan manifestasi realitas esoteris yang satu dan sama,
dan tidak pernah berubah sepanjang masa (Rene Guenon, op. cit., 25).
Lebih lanjut Frithjof Schuon menjelaskan, dua realitas (esoteric dan exoteric)
tersebut dipisahkan antara keduanya oleh sebuah garis horizontal; dan
bukan vertikal seperti yang lazim diasumsikan, sehingga memisahkan
antara yang satu dengan yang lain.
Garis horizontal ini memanjang
melintasi semua agama dan memisahkannya secara horizontal sekaligus,
sehingga yang di atas garis adalah hakikat batiniyah (esoteric) dan yang di bawahnya adalah hakikat lahiriyah (exoteric).
Huston Smith menyederhanakan konsep ini dengan sebuah ibarat piramida
dimana Tuhan berada di titik puncak, atau kepala piramida, sementara
semua agama mengalir ke bawah dari titik tersebut; begitu juga dalam
waktu yang sama semua agama naik dari bawah ke atas saling berdekatan
dan akhirnya bertemu di titik tersebut (lihat dalam kata pengantarnya
untuk buku Schuon, The Transcendent Unity of Religions, xii).
Dan inilah gambaran ringkas suatu gagasan yang dituangkan Schuon dalam apa yang ia sebut “the transcendent unity of religions”
(kesatuan transenden agama-agama), yakni kesatuan yang melampaui segala
macam bentuk dan sosok lahiriyah, eksternal. Oleh karena itu Schuon
berpendapat bahwa berhenti pada bentuk dan sosok eksternal (exoteric) serta menganggapnya sebagai “absolut secara absolut” (absolutely absolute) adalah kesalahan yang sangat fatal, sebab kebenaran eksternal (exoteric truth) pada hakikatnya dibatasi oleh batasan-batasan konseptual ekspresif dan definitif(Ibid., 17).
Dimensi
esoterik agama inilah yang disebut“tradisi” yang kebenarannya adalah
“absolute secara absolut”. Adapun dimensi eksoteriknya harus tetap
relatif untuk dapat berkoeksistensi dengan agama-agama yang lain
(Ibid.). Perlu ditegaskan di sini bahwa di tangan Hossen Nasr-lah,
gagasan perenialisme atau tradisionalisme memendapatkan artikulasi dan
substansiasi yang begitu mengagumkan. Nasr dengan cerdas
mengartikulasikan gagasan sophiaperennis yang berat ini dengan
menggunakan istilah-istilah atau prinsip-prinsip serupa yang ada dan
dikenal luas dalam agama-agama yang ada di belahan lain dunia.
Menurutnya,
gagasan yang ia usung bersama-sama dengan kaum perennialis dan
tradisionalis lainnya ini tiada lain -- meski tidak identik -- adalah
yang orang Hindu menyebutnya: sanatana dharma; pengikut Taois mememanggilnya: Tao; danMuslim menyebutnya: al-dīn al-hanīf atau al-hikmah al-khālidah.
Berdasarkan tafsir tradisional/ transendentalis ini Nasr berkesimpulan
bahwa semua agama adalah ibarat “jalan-jalan yang mengantarkan ke
puncak yang sama” (Nasr, Ibid., 293), dan “siapa saja yang menjalankan
agamanya dengan sepenuhnya, maka sejatinya ia menjalankan semua agama”.
Aliran
filsafat perenialisme ini cukup banyak eksponennya. Disamping nama-nama
populer yang disebut di atas, ada deretan panjang nama-nama yang cukup
dikenal luas dalam ranah pemikiran filsafat dan dunia perbukuan. Ini
dapat dimaklumi, karena karakteristik utama filsafat ini yang
transenden, melampaui sekat-sekat atau batas-batas budaya, bahasa,
keyakinan, dan agama. Ananda Coomaraswamy, Titus Burckhardt, Toshihiko
Izutsu, Martin Lings, William Chittick, Sachiko Murata, Clinton Minnaar,
Lord Northbourne, Philip Sherrard, John Holman, Armstrong, Joseph
Campbell, dll.
Nama-nama ini kalau ditambah lagi dengan tokoh-tokoh aliran spiritulisme alternatif modern, seperti New Age, New Thought, dan yang lainnya, yang mana perenialisme memang menjadi bagian dari dasar-dasarnya, maka daftar ini bisa semakinpanjang.
Banyak Kritik
Sebagaimana lazimnya teori atau pemikiran atau faham yang lain, faham perenialisme/ tradisionalisme/transendentalisme ini banyak mendapat ulasan dan tanggapan kritis dari berbagai kalangan. Frank Visser dari kelompok integralis, misalnya, menilai klaim “tradisional” faham ini sebagai over-generalisisasi dan sangat problematik secara epistemologis. Apakah betul “all religions say the same thing”? Dari segi “kandungan”, apakah semua agama berbicara tentang “tuhan”?, apakah semua agama memiliki doktrin inkarnasi/reinkarnasi?. Bahkan ketika kaum perennialis menekankan sisi mistik dari semua agama, kesulitan yang berkenaan dengan “kandungan”pun tak mungkin terjawab dengan memuaskan. Masalah yang paling menonjol adalah, jika semua tokoh mistik dari semua agama, seperti Meister Eckhart, St. John of the Cross dari Kristen; Jalaluddin Rumi dari Islam; Shankaradari Hindu; Lao Tzu dariTaoisme; dan sebagainya. memiliki pengalaman yang sama, kenapa mereka tidak pernah mengajarkan sebuah faham yang bernama perenialisme ini?;
Klaim
universalitas kebenaran esoterik agama juga over-simplistis. Kaum
perenialis cenderung melihat keragaman agama seperti melihat hutan yang
Nampak hijau-lebat dan tidak menghiraukan macam dan jenis pohon yang
berbeda-beda di dalamnya, padahal secara empiris di antara pohon-pohon
itu ada yang kuat, ada yang lemah; ada yang bisa jadi obat untuk
menyembuhkan, ada yang sangat mematikan; dan sebagainya.
Faham
perennialisme sejatinya hanyalah sebuah “interpretasi” dan bukan
“wahyu”. Aldous Huxley jelas-jelas menulis di sampul bukunya setelah
judul The Perennial Philosophy, An Interpretation of the Great Mystics, East and West”
(sebuah interpretasi tentang tokoh tokoh mistik besar, timur dan
barat).Kemudian dasar argumennya pun sangat spekulatif dan debatable;
Renaud Fabbri dalam essainya, “Introduction to the Perennial School,”
menelisik adanya upaya serius dari pendiri faham ini, Rene Guenon,
untuk menyebarkan gagasan perenialisme sebagai sarana merestorasi
tradisi “intellectualite” di Barat yang berasaskan Roman Catholicism
dan Freemasonry;
Terakhir sekali, kesimpulan Hossen Nasr di atas
jelas-jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar agama pada
umumnya, dan Islam secara khusus. Konsep-konsep iman-kufr, dakwah, amar
ma’ruf dan nahi munkar dan lain-lain, menjadi bukan hanya tak relevan,
tapi malah jadi bahan tertawaan dan bahkan caci-makian.
Demikianlah, konsep-konsep agama secara lintas-agama (sanatana dharma, al-dīn al-hanīf, dan
lain-lain.) telah mengalami distorsi yang demikian dahsyat agar sesuai
dengan gagasan “tradisionalisme” yang berujung pada kesetaraan
danpenyamaan agama-agama.
Oleh karena itu, paham perenialisme,
transendentalisme, atau “tradisionalisme”, sebenarnya lebih merupakan
proble ketimbang solusi bagi masalah keragaman agama. Maka, tidaklah
mengherankan jika kemudian Al-Faruqi berkesimpulan bahwa: “. . . it
avails nothing. It does not provide criteria for settling differences
among the religions of the world, nor does it provide positive
indications for conduct” (Isma’il R. Al Faruqi, ‘Meta-Religion,’ 40). (***)
Sumber: Insistnet.com
0 komentar:
Posting Komentar