Masjid Abdurrahman Isma'il,
Komplek Kampus IAIN Antasari,
Jl. A. Yani KM. 4,5 Banjarmasin, Kalsel
Phone: +6289691780577 (Ikhwan) /
+6285651xxxxxx (Akhwat)
E-Mail: ldk_amal@yahoo.co.id

Selasa, 28 Oktober 2008

Little Idol


Sobat, kenal kan dengan Rizki P. Egeten (Kiki) asal Manado. Yup dia adalah pemenang Kontes pencari bakat “Idola Cilik 2008” di salah satu stasiun televisi swasta. Kiki berhasil meraih dukungan suara tertinggi dan nyisihkan Angelica Martha Pieters atau Angel di tempat kedua. Ga tanggung-tanggung, 50 juta perak digondol oleh Kiki. Sementara Angel kudu puas dengan hadiah sebesar 30 juta rupiah (kapanlagi.com). Dengan duit sebanyak itu, apa yang diinginkan oleh Kiki? Konon, Kiki ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya. Ayahnya yang mengalami kecelakaan di masa lalu, membuatnya ga mampu bekerja lagi, sedang ibunya hanyalah seorang karyawan toko. Begitulah pendapat Kiki di salah satu situs di internet. Selanjutnya, situs tadi menulis bahwa, “ungkapan tulus Kiki bisa salah satu bukti kalau Idola Cilik tidak hanya diasumsikan sebagai eksploitasi anak–anak semata.” (rcti.tv). Masa sih...?


Kesuksesan pihak tivi swasta dalam perhelatan Idola Cilik, membuat keberadaan Idola Cilik 2 di waktu dekat bakal digeber kembali. Ribuan adek-adek kita sekarang pada ngantri untuk ikut audisi. Target penyelenggara tentunya bocah usia 7 hingga 12 tahun. Dengan umur yang masih bau jahe (bosen dong kencur terus...), ga susah bila pihak produser ingin mengeruk rupiah sebanyak-banyaknya. Sebut saja kontes Da’i Cilik, MamaMia, dan Kecil-kecil Cabe Rawit. Karena kontes bakat untuk remaja dan dewasa udah mulai pudar popularitasnya. Alias udah sampe ambang jenuh. Apalagi keinginan untuk nampang di tivi, jadi terkenal, banyak uang, dan bergelar idola adalah jawaban seragam yang diberikan oleh adik-adik kita yang begitu bernafsu ngikut audisi. Bisa juga lho ini gara-gara desakan dan dukungan ortunya. Apalagi kalo matanya udah berwarna hijau bin gila duit. By the way, dibalik itu semua, apa memang bener kontes semacam ini memang bertujuan mulia? Apa memang bener pencarian bakat instan ini dibolehkan dalam Islam? Trus gimana positif negatifnya dengan perkembangan jiwa anak? Nah..sobat, islamuda kali ini bakal ngupas tuntas soal ini. So jangan kemana-mana ya, tetep aja selidik buletin yang makin manis ini. (yee..narsis).

Mau jadi Idola Kecil?

Sobat, kalo diantara kita ada yang punya adek kecil, pasti ngerti banget gimana karakter dan sifat mereka. Yup, anak kecil itu ibarat kertas putih yang polos. Gampang diisi, ditulisi, dan diwarnai oleh lingkungan tempat diri bernaung. Termasuk oleh keluarga, sebagai ekosistem terkecil mereka. Keinginan ortu yang menggebu untuk meraup rupiah, bisa jadi blunder yang amat berbahaya bagi para bocah. Sedewasa apapun mereka untuk dipaksa, baik dandanan, tampilan maupun lagu yang dinyanyikan, mereka masih anak-anak yang butuh asupan positif bagi pribadinya. Sebut saja salah satu finalis Idola Cilik, Gabriel Stevent Damanik asal Batam, sedewasa apapun dia dipaksa untuk tampil di panggung, tetep saja Gabriel masih suka disuapin oleh ibunya saat makan dan masih suka mengisap jempol ketika tidur. Hehe. Sayangnya banyak ortu yang ga sadar akan hal ini. Tentang perlunya edukasi yang jernih bagi sang anak. Boro-boro ortu, pihak produser malah jauh lebih parah. Emang gue pikirin, katanya. Yang penting uang mengalir ke kantong. Padahal, kalo dari awal adek-adek kita dibentuk demi tujuan mendulang uang dan kekayaan, ujung-ujungnya nanti bakal muncul the lost generation, alias generasi yang hilang. Negeri ini bakal kebingungan nyari sosok buah hati yang punya visi dan idealisme. Dan juga jangan heran, bakal tercipta generasi idola yang berperilaku bejat seperti Sylvester Stalonne, Madonna dan Lindsay Lohan. Nah, sobat, bukankah sekarang ini semua udah mulai nampak?

Ga salah kalo kita telaah perkataan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Beliau mengungkapkan kalo pelaku industri televisi dan orang tua sering ga menyadari telah melakukan eksploitasi terhadap anak, lewat dunia hiburan di televisi. Karena sudah ada unsur instruksi dan tekanan psikologis, hal itu disebut eksploitasi dan penyalahgunaan hak anak. Kak Seto mencontohkan kontes bakat menyanyi dan sinetron yang marak di sejumlah stasiun televisi saat ini. Anak-anak tersebut tampil dengan riasan wajah yang tebal, baju seperti orang dewasa, jam siaran yang melebihi tiga jam, serta menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang ditentukan pihak produsernya. Beliau menambahkan, kalo itu semua demi kepentingan televisi dan orang tua, bukan keinginan anak-anak. Padahal anak-anak berhak untuk bisa bermain dengan gembira, tanpa ada tekanan atau paksaan harus begini dan begitu (kompas.com). Nah, ngomong-ngomong soal eksploitasi anak, seringkali kita memandang rendah (maaf) para pengemis di jalan yang menggunakan sang anak sebagai ujung tombak meneguk rupiah. Emang sih, apa yang mereka lakukan ga bisa dibenarkan. Meski paling banter, anak mereka dalam sehari dapat uang sekitar 20 ribu perak. Bandingkan dengan kontes semacam idola cilik. Ga tahu tuh berapa rupiah yang bisa mereka dapatkan untuk orang tua mereka. Aduh-aduh, eksploitasi gede-gedean nih.

Hal ini juga diiyakan oleh Mbak Ria Fariana, penulis buku No Man No Pain dan Mutiara. Dia menulis bahwa, orang tua seperti ini tak lagi memikirkan kebutuhan anak. Kebutuhan asasi yang dipunyai seorang anak adalah kebutuhan bermain dan berkembang dengan maksimal dalam koridor yang positif. Seorang anak ga akan berkembang dengan alami dan maksimal, bila sejak kecil ia sudah berkenalan dengan sejumlah make-up, dandanan meniru orang dewasa, aktivitas bejibun seputar konser sana-sini, pemotretan dan syuting sana-sini, dll (gaulislam.com).

Sekilas, kontes semacam itu ibarat mencari emas di tengah hamparan pasir. Sebut saja kisah Kiki yang ingin membantu ekonomi kedua ortunya, sepintas mampu membuat audience mengharu biru. Padahal ini semua malah bikin bias perhelatan konser ini. Kiki yang ber-idol ria adalah sebuah problem, sedang ortunya yang ga bisa memberi nafkah adalah masalah yang lain. Kedua hal ini ga bisa disatukan. Kudu dipisah. Karena solusinya memang berbeda. Sayangnya, dua sudut pandang ini dikerucutkan jadi satu oleh produser. Akhirnya, yang bener jadi salah dan yang salah seakan menjadi sebuah kebenaran. Jangan lupa, seorang anak, apalagi yang belum dewasa, ga punya tanggung jawab untuk menafkahi kedua ortunya, sebaliknya, orang tualah yang punya kewajiban besar untuk memenuhi kebutuhan sang anak. Titik. Masih banyak lho, cara lain yang lebih mulia. Semisal mendidik anak untuk jadi wirausahawan.atau enterpreneur.

Sobat, orang tua yang sadar akan tanggung jawabnya, bakal berpikir ribuan kali untuk mengikuti alur eksploitasi ini. Kita bisa ambil contoh dari Butet Trivyantini, ibunda dari Ratnakanya Annisa Pinandita (Kanya). Dia menilai anak akan kehilangan masa bermain dan belajar dengan adanya jadwal syuting yang ketat, plus bermacam aturan yang ditetapkan oleh produser. “Anak-anak yang tampil dalam kontes bakat kehilangan keceriaan khas anak-anak yang polos dan wajar. Mereka terlihat lebih dewasa dari usia yang sesungguhnya karena riasan, kostum, dan lagu-lagu yang dibawakan semuanya seperti orang dewasa. Saya tidak mau Kanya seperti itu.” Nah, buat para ortu, masih mau sang anak kehilangan masa kecilnya?

Hasil Kapitalisme

Sobat, ga bisa dipungkiri lagi, kalo semua ini akibat cara berpikir ala kapitalis yang udah menghinggapi kita semua. Ga ada lagi yang namanya nilai kemanusiaan, pengertian dan pemahaman untuk perkembangan pribadi anak. Semua udah sirna dengan silaunya gemericik uang. Yup, cuma karena uang, masa depan ribuan anak bisa dikorbankan. Ya, hanya industri hiburan yang diuntungkan, bukan yang lain. Demikian juga yang dirasakan Ronal Surapradja. Dia ngerasa sangat sulit melawan industri televisi saat ini. Karena industri hiburan menentukan apa dan siapa yang boleh tampil. Sedangkan pelaku di dunia hiburan seperti dia ataupun anak-anak yang bergelut di industri entertainment, ga punya pilihan lain kecuali menuruti keinginan industri televisi. “Kita ini siapa? Mau melawan industri yang besar? Tidak bisa. Memang itu yang diinginkan dan itu yang laku dijual,” kata Ronal. Dia juga mengatakan, kalo seseorang udah memasuki bisnis hiburan di televisi, ga banyak yang bisa memegang teguh idealismenya (kompas.com). Tuh kan bikin was-was.

Ga bisa kita bayangin, gimana nasib adik-adik kita di masa mendatang, kalo yang ada di benak mereka hanyalah sekedar popularitas semu dan gelimangnya uang. So, ga salah bila hasil jerih payah media untuk mencetak generasi-generasi gila harta bakal berimbas kepada pribadi mereka esok. Kalo mereka jadi pemimpin, ga usah nyesel ya, karena mereka hanya akan memikirkan kesenangan pribadi dibanding penderitaan rakyat. Hehe, siapa yang kesindir tuh..?

Nah, inilah yang sekarang jadi pe-er kita bersama. Bukan cuma islamuda doang lho. Kenapa, karena semua pihak bertanggung jawab. Khususnya institusi terkecil anak-anak, yaitu keluarga. Pendidikan anak adalah keutamaan dalam keluarga. Insya Allah, hal ini bakal kita bahas di akhir analisa. Tapi jangan dikira negara lepas tangan dalam problem besar ini. Justru negara punya andil terbesar dalam terselenggaranya program-program tadi. Paling tidak begitulah ungkap Sekretaris Jendral Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. Dia menyebutkan kalo memang perlu adanya kesadaran dari pelaku industri televisi, bahwa mereka juga memikul tanggung jawab edukasi dalam tayangannya. “Orang tua juga harus sadar bahwa anak-anak memiliki hak bermain dan belajar seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Kalau sudah terjadi eksploitasi anak, maka itu sudah termasuk tindakan pidana,” katanya.
Jadi jelas deh, aturan kudu ditegakkan, bukan sekedar pepesan kosong. Dan alangkah mulianya kalo kita mau melirik ke aturan yang tegas dan konkrit dari Allah SWT, bukan yang lain.

Kedudukan Anak dalam Islam

Sobat, tadi kita sudah janji untuk ngebahas gimana sih porsi si kecil dalam Islam. Hal ini sangat penting lho, walaupun ada diantara kita yang belum berkeluarga. Paling tidak, ini bisa jadi investasi pengetahuan yang super berharga. Sobat, orang tua dalam Islam punya tanggung jawab yang gede untuk mendidik sang anak. Sampai-sampai Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(TQS.At-Tahrim:6)

Banyak ahli tafsir yang memberikan penjelasan pada ayat tersebut. Salah satunya adalah Al-‘Allamah Ibnu Katsir yang menukil penjelasan para ahli. Diantaranya Ali r.a., ketika menjelaskan kalimat “peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” berkata, “Didiklah mereka dan ajarlah mereka”. Ibnu Abbas berkata, “Taatlah kepada Allah, jauhilah perbuatan maksiat dan perintahkan keluargamu untuk selalu dzikir (ingat kepada Allah), maka Allah akan menyelamatkanmu dari api neraka.” Qotadah berkata, “Hendaknya engkau perintahkan keluargamu untuk mentaati Allah, engkau larang mereka berbuat maksiat, engkau layani mereka dengan ketentuan-ketentuan Allah dan engkau perintahkan serta engkau bantu mereka untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat maka celalah dan hardiklah mereka.” Adl-Dlahak dan Muqatil berkata, “Setiap orang Islam berkewajiban untuk mengajar keluarganya baik kerabatnya maupun pembantunya tentang apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dari apa-apa yang dilarang-Nya.”

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, memelihara diri dan keluarga termasuk anak dari neraka adalah dengan pendidikan dan pengajaran, kemudian memperhatikan perkembangan mereka agar berakhlak mulia dan menunjukkan kepada mereka hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan.

Jadi jelas sudah, pendidikan bagi anak adalah mutlak sebuah kewajiban bagi orang tua. Pendidikan yang islami tentunya. Malahan, bagi orang tua yang mendidik anaknya dengan tekun dan Islami, Allah SWT telah menjanjikan surga. Ya, surga. Allah lho yang janji. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang diantara kamu yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kecuali ia akan masuk surga.” (HR.At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Hudri). Jelas kan....(dy)
Buletin Islamuda Edisi: 101/okt/2008
sumber: islamuda.com

ads

Ditulis Oleh : LDK AMAL Hari: 09.22 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar

 

Bagaimana tampilan Web kami menurut Anda?